Skip to content Skip to left sidebar Skip to footer




Farissa Romadhiyati

Memahami Potensi Ancaman Kesehatan dari Dunia Kesehatan Hewan

MEMAHAMI POTENSI ANCAMAN KESEHATAN
DARI DUNIA KESEHATAN HEWAN
Oleh: Farissa Romadhiyati

Masyarakat Dunia memperingati Hari Zoonosis setiap tanggal 6 Juli tiap tahunnya. Hari ini dipilih untuk menghormati kontribusi besar dari ilmuwan Louis Pasteur dalam sejarah medis khususnya untuk pencapaian vaksinasi pertama terhadap penyakit rabies. Pada tanggal 6 Juli 1885, Louis Pasteur berhasil melakukan vaksinasi yang sukses terhadap seorang anak laki-laki bernama Joseph Meister yang digigit oleh seekor anjing yang terinfeksi virus rabies. Joseph Meister merupakan pasien pertama yang menerima vaksin rabies dari Pasteur dan akhirnya bertahan hidup. Kejadian ini menandai tonggak sejarah dalam perawatan penyakit rabies. Peringatan Hari Zoonosis Sedunia tidak hanya memperingati pencapaian medis ini, tetapi juga menyoroti pentingnya kesadaran akan zoonosis serta upaya pencegahan dan pengendaliannya.

Zoonosis adalah sebuah fenomena yang melibatkan penularan penyakit dari hewan vertebrata ke manusia (atau sebaliknya) dan menjadi fokus utama dalam kesehatan masyarakat global. Menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1951, zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang dapat ditularkan secara alami antara hewan vertebrata dan manusia. Patogen penyebab zoonosis dapat berasal dari berbagai jenis, termasuk bakteri, virus, parasit, jamur, prion, dan agen lain yang tidak lazim. Penularan zoonosis dapat terjadi melalui beberapa jalur, termasuk makanan, air, vektor seperti nyamuk atau kutu, kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui kontaminasi lingkungan atau benda mati. Lebih dari 250 jenis zoonosis telah diidentifikasi oleh Komite Ahli Zoonosis WHO, dengan lebih dari 60% patogen yang menginfeksi manusia berasal dari zoonosis.

Gambar 1: Penyakit Zoonosis ditularkan antara hewan dan manusia

(Sumber: CDC)

ZOONOSIS SEBAGAI ANCAMAN KESEHATAN GLOBAL

Fenomena emerging atau re-emerging zoonotic disease semakin sering terjadi seiring waktu, yang menunjukkan bahwa tantangan kesehatan masyarakat dari zoonosis tidak statis dan terus berubah. Kedekatan manusia dengan hewan dalam sektor pertanian, interaksi dengan hewan peliharaan, dan hewan liar menjadi faktor utama dalam penyebaran zoonosis. Frekuensi dan distribusi zoonosis sangat bervariasi untuk setiap penyakit, tergantung pada reservoir alami penyakit, jenis agen penyebab, kepadatan populasi, dan efektivitas tindakan pengendalian yang diterapkan. Oleh karena itu, pengelolaan zoonosis memerlukan pendekatan lintas sektoral yang melibatkan sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mengurangi risiko penularan dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat global.

Ancaman yang ditimbulkan oleh zoonosis sangat signifikan dan mencakup beberapa aspek penting yang mempengaruhi kesehatan masyarakat global serta stabilitas ekonomi:

  1. Dampak pada Kesehatan Masyarakat: Zoonosis dapat menyebabkan timbulnya jutaan kasus penyakit pada manusia setiap tahunnya. Infeksi ini sering kali berujung pada kematian dan menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan keluarganya. Contoh kasus yang sering dikaitkan dengan zoonosis termasuk influenza, rabies, dan beberapa jenis penyakit diare yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen dari hewan.
  2. Beban Ekonomi yang Besar: Konsekuensi ekonomi dari zoonosis sangatlah besar. Hewan yang terinfeksi atau mati dapat mengakibatkan kerugian langsung bagi industri pertanian dan peternakan. Biaya produksi pertanian meningkat karena upaya untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit, seperti vaksinasi hewan dan pengelolaan lingkungan yang lebih ketat. Di samping itu, biaya untuk pengobatan dan pencegahan pada manusia juga merupakan beban ekonomi yang signifikan bagi sistem kesehatan.
  3. Ancaman Emerging/Re-emerging Zoonotic Disease: Fenomena penyakit zoonosis yang baru muncul atau kembali muncul (emerging/re-emerging) menimbulkan tantangan yang besar bagi sistem kesehatan masyarakat global. Perubahan iklim, urbanisasi yang cepat, migrasi manusia, dan perubahan dalam penggunaan lahan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit-penyakit baru atau penyakit yang sudah ada menjadi lebih sulit untuk dikendalikan.
  4. Ancaman terhadap Keamanan Kesehatan Global: Zoonosis diakui sebagai ancaman serius terhadap keamanan kesehatan global karena kemampuannya untuk menyebar melintasi batas negara dengan cepat. Infeksi zoonotik dapat mempengaruhi populasi di seluruh dunia dengan sangat cepat, terutama dalam konteks globalisasi dan mobilitas manusia yang tinggi saat ini.

Pemahaman masyarakat tentang apa itu penyakit zoonosis sangat penting untuk mengurangi risiko penularannya. Ketika memahami zoonosis, masyarakat lebih mungkin untuk mengenali gejala awal penyakit pada hewan atau diri mereka sendiri. Hal ini memungkinkan penanganan yang cepat dan pencegahan penyebaran lebih lanjut. Pengetahuan tentang  bagaimana cara zoonosis ditularkan dapat membantu masyarakat untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang efektif misalnya dengan menjaga kebersihan, membatasi kontak dengan hewan liar, atau mengikuti protokol vaksinasi hewan peliharaan. Pemahaman zoonosis juga mengajarkan masyarakat tentang bagaimana faktor-faktor lingkungan seperti perubahan iklim atau perubahan penggunaan lahan dapat mempengaruhi penyebaran penyakit dari hewan ke manusia. Ketika masyarakat sadar akan potensi wabah zoonosis, mereka lebih siap untuk berpartisipasi dalam respons kesehatan masyarakat yang terkoordinasi dan membantu dalam upaya pencegahan dan pengendalian.

PENDEKATAN YANG HOLISTIK DALAM MENCEGAH DAN MENGENDALIKAN ZOONOSIS

Pengendalian zoonosis memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Prinsip umum serta strategi yang dapat diterapkan dalam pengendalian zoonosis meliputi pengobatan individu yang terkena, vaksinasi, pembatasan pergerakan hewan, pengendalian populasi hewan, pengujian dan pemusnahan, edukasi kepada masyarakat, surveillance untuk deteksi dan identifikasi, dan kolaborasi multidisiplin.

Pengobatan efektif pada individu yang terinfeksi adalah langkah pertama untuk mengurangi dampak penyakit zoonosis. Penanganan medis yang tepat mengurangi gejala, menghilangkan patogen, dan mengurangi risiko penularan lebih lanjut. Vaksinasi pada hewan sehat membantu mencegah timbulnya penyakit zoonosis. Vaksinasi juga penting untuk manusia yang berisiko tinggi terkena zoonosis melalui kontak langsung dengan hewan. Selanjutnya, pembatasan dan karantina pada hewan yang terpapar penyakit adalah langkah penting untuk mencegah penyebaran penyakit. Regulasi pergerakan hewan juga membantu mengurangi risiko penyebaran penyakit ke wilayah lain. Pengelolaan populasi hewan, termasuk pengurangan kepadatan hewan dan pemusnahan hewan yang terinfeksi, dapat mengurangi penyebaran penyakit. Pengendalian ini penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan kesehatan hewan. Pengujian rutin pada hewan untuk mendeteksi penyakit zoonosis secara dini memungkinkan penanganan cepat dan pemusnahan hewan yang terinfeksi jika diperlukan untuk mencegah penyebaran. Pendidikan masyarakat tentang praktik kebersihan, biosekuriti, dan interaksi aman dengan hewan penting untuk mencegah infeksi zoonosis. Kesadaran yang tinggi dapat membantu mengurangi risiko penularan. Sistem surveilans yang efektif diperlukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi patogen zoonosis. Analisis data epidemiologis dan pemantauan gejala membantu dalam mengidentifikasi kecenderungan penyakit dan faktor risiko yang mungkin bertanggung jawab terhadap penularan penyakit. Kolaborasi antara dokter hewan, tenaga medis, ahli epidemiologi, dan spesialis lingkungan merupakan kunci untuk pengendalian zoonosis yang efektif. Pendekatan One Health mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk penanganan yang lebih holistik dan komprehensif.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip umum pengendalian penyakit, menggunakan surveilans yang efektif, dan memastikan kolaborasi multidisiplin yang erat, kita dapat mengurangi risiko zoonosis dan melindungi kesehatan manusia dan hewan dengan lebih baik.

INDONESIA SEBAGAI HOTSPOT ZOONOSIS

Indonesia memiliki potensi besar sebagai hotspot zoonosis yang merupakan tantangan serius bagi kesehatan masyarakat dan konservasi lingkungan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara megadiverse di dunia dengan ekosistem yang sangat beragam. Keanekaragaman ini mencakup berbagai spesies hewan, baik liar maupun domestik. Kehadiran banyak spesies hewan ini meningkatkan kemungkinan bahwa beberapa di antaranya bisa menjadi reservoir alami untuk berbagai penyakit zoonosis. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan memiliki hubungan erat dengan hewan domestik seperti ayam, babi, dan sapi. Interaksi langsung dengan hewan-hewan ini, baik untuk konsumsi atau pekerjaan sehari-hari, meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis dari hewan ke manusia. Praktik pertanian intensif dan perdagangan hewan di Indonesia yang kurang terkontrol dapat mempercepat penyebaran penyakit zoonosis di antara hewan ternak. Kurangnya pengawasan terhadap standar keamanan pangan dan pengelolaan limbah yang memadai juga berpotensi meningkatkan risiko penularan penyakit ini. Perubahan lingkungan yang kerap terjadi di Indonesia turut menjadi alasan Indonesia beresiko besar sebagai lokasi Perubahan lingkungan seperti deforestasi, urbanisasi yang cepat, dan perubahan iklim dapat mempengaruhi habitat hewan vektor atau memaksa hewan-hewan tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Hal ini dapat mengubah pola penyebaran penyakit zoonosis dengan cara yang sulit diprediksi. Di beberapa daerah Indonesia, terutama di pedalaman atau pulau-pulau terpencil, akses terhadap perawatan kesehatan masih terbatas. Hal ini dapat menyulitkan upaya deteksi dini, diagnosis, dan pengendalian penyakit zoonosis sebelum menyebar secara luas.

Keputusan Menteri Pertanian No. 237/Kpts/PK.400/M/3/2019 di Indonesia merupakan salah satu langkah strategis dalam menangani penyakit zoonosis. Latar belakang dari Keputusan tersebut adalah karena pengendalian penyakit zoonosis memerlukan pendekatan yang terkoordinasi antara sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Keputusan ini mencerminkan upaya untuk memprioritaskan penyakit yang memerlukan perhatian khusus dalam hal pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan. Penanganan zoonosis memerlukan kerjasama antara berbagai instansi pemerintah, lembaga kesehatan, serta masyarakat. Keputusan ini mendorong kolaborasi antara kementerian dan pihak-pihak terkait dalam penanganan penyakit zoonosis. Selain itu, keputusan ini sejalan dengan strategi nasional dan kebijakan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan sistem kesehatan masyarakat dan pertanian. Prioritas pada penyakit zoonosis diatur untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya dan strategi pencegahan yang efektif. Mengingat potensi wabah penyakit zoonosis, penting untuk memiliki rencana dan kapasitas yang siap untuk merespons secara cepat dan efektif. Terakhir, keputusan ini juga membantu menetapkan fokus dan alokasi sumber daya untuk kesiapsiagaan dan respons terhadap potensi wabah. Dengan menetapkan prioritas untuk beberapa penyakit zoonosis, Keputusan Menteri Pertanian ini bertujuan untuk mengurangi dampak penyakit tersebut pada kesehatan masyarakat dan ekonomi pertanian, serta meningkatkan kapasitas nasional dalam menghadapi ancaman zoonosis secara lebih efektif. Berikut adalah daftar penyakit yang diprioritaskan berdasarkan keputusan tersebut:

  1. Avian Influenza (flu burung)
  2. Rabies (penyakit anjing gila)
  3. Anthraks
  4. Brucellosis
  5. Leptospirosis
  6. Japanese B. Encephalitis
  7. Bovine Tuberculosis
  8. Salmonellosis
  9. Schistosomiosis
  10. Q Fever
  11. Campylobacteriosis
  12. Trichinellosis
  13. Paratuberculosis
  14. Toksoplasmosis
  15. Cysticercosis/Taniasis

PERAN VITAL DOKTER HEWAN

Peran dokter hewan dalam gerakan pengendalian zoonosis sangat penting dan meliputi beberapa aspek krusial. Dokter hewan berperan dalam mengobati dan mencegah penyakit pada hewan yang merupakan sumber utama zoonosis. Hal ini mengurangi risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia. Dokter hewan juga terlibat dalam penyelidikan dan penanganan wabah zoonosis. Mereka membantu dalam identifikasi penyebab, penyebaran, dan kontrol penyakit agar tidak menyebar ke manusia. Dalam membantu dalam deteksi dini potensi wabah zoonosis serta pengendalian prevalensi penyakit, dokter hewan memiliki peran dalam membangun dan mengelola sistem surveilans untuk memantau kesehatan populasi hewan. Selain itu, dokter hewan terlibat dalam regulasi dan pembatasan pergerakan hewan yang berpotensi menularkan penyakit zoonosis. Langkah ini membantu mengurangi risiko penularan melalui perdagangan hewan atau migrasi populasi hewan. Dokter hewan juga memantau kesehatan satwa liar yang dapat menjadi reservoir penyakit zoonosis. Langkah ini penting untuk memahami dan mengelola potensi risiko penularan dari satwa liar ke manusia. Peran vital lain yang dimiliki seorang dokter hewan adalah sebagai penghubung alami antara dokter manusia, ahli ekologi, dan spesialis lingkungan. Kolaborasi lintas disiplin ini sangat diperlukan dalam pengendalian zoonosis yang efektif.

Dengan semboyan Manusya Mriga Satwa Sewaka, dokter hewan di Indonesia menegaskan komitmen mereka untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia melalui pemahaman dan perlindungan terhadap dunia hewan, termasuk dalam upaya pencegahan dan pengendalian zoonosis. Maka dari itu untuk dapat berkontribusi, seorang dokter hewan haruslah memiliki kesadaran diri untuk selalu meningkatkan kapasitas dan kompetensi diri terutama dalam gerakan pengendalian zoonosis. Kemampuan dan pengetahuan yang terus diperbarui serta keterampilan yang diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan sangat penting dalam menghadapi tantangan zoonosis yang terus berkembang dikemudian hari. (FR)

Author:

Farissa Romadhiyati 

  • Doctor of Veterinary Medicine
  • Master of Animal dan Food Hygiene
  • Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BPKH) Cinagara – Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2018-2024).

SUMBER

Beran, G. W., & Reilly, R. R. L. (Eds.). (2018). Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible from Animals to Humans. CRC Press.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2022). Zoonotic Diseases. Retrieved from [CDC Website](https://www.cdc.gov/onehealth/basics/zoonotic-diseases.html)

Emerging Zoonotic Diseases: A Review of Current Trends. (2015). Clinical Microbiology Reviews, 28(4), 638-658. [DOI: 10.1128/CMR.00066-14](https://cmr.asm.org/content/28/4/638)

Food and Agriculture Organization (FAO). (2020). The State of World Fisheries and Aquaculture. FAO. Retrieved from [FAO Website](http://www.fao.org/3/ca9229en/CA9229EN.pdf).

Kilpatrick, A. M., & Randolph, S. E. (2012).Drivers of Zoonotic Emerging Infectious Disease. Journal of the Royal Society Interface, 9 (71), 1237-1249. [DOI: 10.1098/rsi.2012.0276](https://royalsocietypublishing.org/doi/full/10.1098/rsi.2012.0276)

Morrison, M. L., & Hodge, B. S. (2021). One Health Approaches to Zoonotic Disease Surveillance. Journal of Public Health Management and Practice, 27 (2), 149-156. [DOI: 10.1097/PHH.0000000000001168](https://journals.lww.com/jphmp/Fulltext/2021/27020/One_Health_Approaches_to_Zoonotic_Disease.10.aspx).

Natterson-Horowitz, B., & Bowers, K. (2012). One Health: People, Animals, and the Environment. Harvard University Press.

Quinn, P. J., Markey, B. K., Carter, M. E., Donnelly, G. R., & Leonard, F. C. (2011). Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Wiley-Blackwell.

The Impact of Climate Change on Zoonotic Diseases. (2020). International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(5), 1622. [DOI: 10.3390/ijerph17051622](https://www.mdpi.com/1660-4601/17/5/1622)

World Health Organization (WHO). (2009). Global Health Risks: Mortality and Burden of Disease Attributable to Selected Major Risks. World Health Organization. Retrieved from [WHO Website](https://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/global_health_risks/en/)

Integrasi One Health: Peran Sentral Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BBPKH) Cinagara dalam Peningkatan Kesadaran dan Kapasitas Kesehatan Bersama

Integrasi One Health: Peran Sentral Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BBPKH) Cinagara dalam Peningkatan Kesadaran dan Kapasitas Kesehatan Bersama

        Konsep One Health adalah pendekatan lintas disiplin ilmu yang mengakui keterkaitan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Prinsip utama dari One Health adalah bahwa kesehatan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan hewan dan ekosistem tempat mereka hidup (World Health Organisation (WHO, 2017). Konsep One Health muncul sebagai respons terhadap peningkatan kesadaran akan hubungan erat antara kesehatan manusia dan hewan, terutama dalam konteks penyebaran penyakit zoonosis seperti rabies dan influenza. Pada tahun 2004, organisasi kesehatan global seperti World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan World Organisation for Animal Health (WOAH – Dulunya OIE) mulai mengembangkan pendekatan lintas sektor untuk mengatasi ancaman penyakit yang melintasi batas spesies. Seiring berjalannya waktu, pengakuan akan pentingnya integrasi aspek kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan semakin meningkat. One Health menjadi landasan untuk mengembangkan kebijakan, strategi, dan program kesehatan global yang holistik. Organisasi internasional, pemerintah, akademisi, dan lembaga swasta bekerja sama dalam mempromosikan pendekatan One Health di tingkat global, regional, dan nasional. Kolaborasi ini melibatkan berbagai sektor seperti kesehatan publik, kesehatan hewan, pertanian, lingkungan, dan lainnya.

Gambar 1. Konsep One Health: Koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi antar sektor
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2020

            Pendekatan One Health menyatakan bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terkait erat. Penyakit menular sering kali dapat berpindah antara spesies, baik dari hewan ke manusia (Zoonosis) maupun sebaliknya. Contoh penyakit seperti influenza, Ebola, dan COVID-19 adalah bukti betapa pentingnya memahami hubungan ini untuk mencegah penyebaran penyakit. One Health telah menjadi landasan penting dalam menanggapi tantangan global seperti penyebaran penyakit menular baru, resistensi antibiotik, dan perubahan iklim yang mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan. Kesehatan manusia adalah fokus utama dalam konsep One Health, dengan fakta bahwa sebanyak 70% penyakit menular di dunia merupakan jenis penyakit zoonosis (World Organisation for Animal Health (WOAH), 2020). Kesehatan hewan turut memainkan peran penting dalam mencegah penularan penyakit ke manusia khususnya pada hewan domestik dan liar. Kesehatan hewan juga berdampak pada keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Selain itu, lingkungan fisik tempat manusia dan hewan hidup juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit. Faktor lingkungan seperti perubahan iklim, polusi, dan kerusakan habitat dapat mempengaruhi kesehatan semua makhluk hidup.

         Aksi terbaru yang signifikan di tingkat global adalah pembentukan One Health High Level Expert Panel (OHHLE) yang melibatkan WHO, FAO, WOAH, dan UNEP. Panel ini bertujuan untuk menyusun One Health Joint Plan of Action (OH-JPA) tahun 2022-2026. OH-JPA dirancang sebagai panduan untuk mengarahkan pembuatan kebijakan di tingkat global, regional, dan nasional dengan pendekatan One Health (FAO, UNEP, WHO, and WOAH, 2022). Hal ini mencakup upaya untuk mengintegrasikan pemantauan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan serta respons terhadap tantangan kesehatan global seperti pandemi, zoonosis, dan resistensi antibiotik. OH-JPA juga bertujuan untuk memperkuat sistem kesehatan global dengan meningkatkan kapasitas pengawasan, deteksi dini, respons cepat terhadap kejadian luar biasa, dan perencanaan keberlanjutan sehingga dokumen yang dihasilkan tersebut diharapkan dapat mendorong kolaborasi yang lebih erat antara berbagai sektor terkait. Kolaborasi lintas sektor diharapkan dapat meningkatkan pemahaman bersama dan koordinasi dalam menangani masalah-masalah kesehatan yang kompleks. Dalam Implementasinya, negara-negara diharapkan untuk mengadopsi dan menyesuaikan OH-JPA sesuai dengan konteks regional dan nasional mereka. Hal ini termasuk pengembangan rencana tindakan nasional yang mengintegrasikan pendekatan One Health dalam kebijakan kesehatan dan lingkungan.

        Di Indonesia, beberapa Gerakan yang menunjukkan komitmen dalam menerapkan pendekatan One Health mencakup dibuatlah peraturan dan pedoman oleh pemerintah antara lain: (1) Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 yang menekankan pentingnya peningkatan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons wabah penyakit, pandemi global, serta kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019); (2) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2022 yang berisi tentang pedoman tentang pencegahan dan pengendalian zoonosis serta penyakit infeksius baru. Hal ini menunjukkan upaya untuk meningkatkan sistem pemantauan, deteksi dini, dan respons terhadap penyakit yang dapat menyebar antara hewan dan manusia; (3) Rencana Aksi Nasional Ketahanan Kesehatan 2020-2024 yang berisi dokumen mencakup strategi untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional dengan pendekatan One Health; (4) Penyusunan ASEAN Leaders Declaration (ALD) on One Health Initiatives yang merupakan Deklarasi Pemimpin ASEAN mengenai Inisiatif One Health. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat kerjasama regional ASEAN dalam menghadapi masalah kesehatan bersama yang melibatkan aspek kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan; (5) Penyusunan One Health Joint Plan of Action yang merupakan panduan untuk mengintegrasikan pendekatan One Health dalam kebijakan dan praktik kesehatan nasional (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2020). Selain itu, Indonesia juga secara aktif mengadvokasi pendekatan One Health dalam ketahanan nasional pada forum-forum internasional seperti G20 dan KTT ASEAN ke-42. Partisipasi ini penting untuk mempromosikan kerjasama regional dan internasional dalam menanggapi tantangan kesehatan global. Tidak berhenti sampai situ, Inisiatif Indonesia terkait One Health tercermin pada pembentukan National One Health Committee (NOHC) sebagai wadah untuk koordinasi lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan otoritas terkait lainnya (National One Health Committee (NOHC) Indonesia, 2021). NOHC bertujuan untuk meningkatkan pengawasan kesehatan hewan, mendukung deteksi dini penyakit zoonosis, dan mengembangkan kebijakan yang terintegrasi. Selanjutnya, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi One Health (RAOH) yang mengarahkan implementasi pendekatan One Health di tingkat nasional. RAOH ini mencakup strategi untuk meningkatkan kerjasama antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan, serta untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang kompleks (Direktorat Kesehatan Hewan, 2020). Pemerintah Indonesia telah meningkatkan sistem pemantauan dan deteksi dini penyakit zoonosis seperti rabies, avian influenza, dan leptospirosis. Langkah-langkah ini termasuk pengembangan jaringan laboratorium di seluruh Indonesia untuk mendukung diagnosa dan pemantauan penyakit yang bersifat lintas spesies. Untuk mendukung langkah tersebut, Indonesia terus berinvestasi dalam memperkuat infrastruktur kesehatan hewan, termasuk pengembangan fasilitas kesehatan hewan, peningkatan kapasitas tenaga medis hewan, dan promosi praktik biosekuritas di peternakan dan pasar hewan. Indonesia pun telah aktif membangun kerjasama dengan organisasi internasional seperti WHO, FAO, dan WOAH dalam hal pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis, pengelolaan resistensi antimikroba, peningkatan keamanan pangan, dan program pendidikan dan kampanye kesadaran masyarakat tentang One Health. Melalui langkah-langkah tersebut, Indonesia menunjukkan komitmen yang kuat untuk menghadapi tantangan kesehatan global dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, memastikan perlindungan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara bersama-sama.

         Balai Besar Pelatihan Kesehatan Hewan (BBPKH) Cinagara, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Kementerian Pertanian yang memiliki tugas pokok menyelenggarakan pelatihan dibidang kesehatan hewan telah memainkan peran penting dalam jejaring One Health di Indonesia sejak 2015. Beberapa kegiatan dan keterlibatannya yang signifikan meliputi:

  1. Penyusunan Modul Pelatihan dengan BBPK Ciloto dan INDOHUN. BBPKH Cinagara telah berkolaborasi dengan Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto dan Indonesia One Health University Network (INDOHUN) dalam penyusunan modul pelatihan. Modul ini dirancang untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas dalam pendekatan One Health di antara para profesional kesehatan hewan dan lainnya;
  2. Penyusunan Modul Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis: BBPKH Cinagara juga terlibat dalam penyusunan modul pelatihan untuk pencegahan dan pengendalian zoonosis serta penyakit infeksi baru. Kolaborasi dilakukan dengan Direktorat Kesehatan Hewan dan FAO ECTAD untuk memastikan pendekatan lintas sektor yang komprehensif.
  3. Pelatihan PELVI (Program Epidemiologi Lapangan Veteriner Indonesia): BBPKH Cinagara telah menyelenggarakan pelatihan PELVI Frontline bagi dokter hewan. Program ini dilakukan bekerja sama dengan FAO ECTAD untuk meningkatkan kapasitas dokter hewan dalam menghadapi tantangan epidemiologi dan zoonosis di lapangan;
  4. Kolaborasi dengan Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto – Kementerian Kesehatan dalam Peningkatan Kapasitas SDM One Health: BBPKH Cinagara juga telah berkolaborasi dengan BBPK Ciloto dalam upaya meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pendekatan One Health. Kolaborasi ini menunjukkan komitmen untuk mengintegrasikan perspektif kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam pelatihan dan pengembangan professional;
  5. Training of Trainer Respon Zoonosis dan Penyakit Infeksi Baru (PIB): BBPKH Cinagara, bersama dengan Direktorat Keswan Ditjen PKH dan FAO ECTAD, telah menyelenggarakan Training of Trainer untuk respons terhadap zoonosis prioritas dan penyakit infeksi baru. Pelatihan ini bertujuan untuk mempersiapkan petugas lapangan dengan pendekatan One Health dalam menghadapi situasi darurat kesehatan yang melintasi spesies.
  6. Kolaborasi dengan INDOHUN dalam Manajemen Penyakit Zoonotik: BBPKH Cinagara juga terlibat dalam kolaborasi dengan INDOHUN dalam pelatihan manajemen penyakit zoonotik melalui pendekatan One Health. Ini mencakup upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan dan praktik terbaru dalam manajemen penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia.

Gambar 2. BBPKH Cinagara bekerjasama dengan FAO ECTAD dan Dirjen PKH menyelenggarakan Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis Tertarget dan Penyakit Infeksi Baru (PIB) Untuk Petugas Lapang Dengan Pendekatan One Health, Minahasa, Agustus 2018.
Sumber: Dokumentasi BBPKH Cinagara

Melalui berbagai inisiatif ini, BBPKH Cinagara tidak hanya memperkuat kapasitas nasional dalam bidang kesehatan hewan, tetapi juga berkontribusi secara signifikan dalam mempromosikan pendekatan One Health di Indonesia. Terlebih karena BBPKH Cinagara merupakan satu-satunya balai pelatihan milik pemerintah yang memiliki fokus pada kesehatan hewan sehingga BBPKH Cinagara memiliki peran sentral dalam peningkatan kesadaran dan kapasitas kesehatan Bersama. BBPKH Cinagara memiliki kesadaran bahwa untuk menghadirkan kesehatan bersama tersebut, Inisiasi yang proaktif haruslah diusahakan terus menerus oleh seluruh anggota masyarakat, seperti dalam kutipan dari Dr Monique Éloit, Director General WOAH bahwa “It’s everyone’s health. Together, we can find concrete solutions for a healthier, and more sustainable world.” (Demi kesehatan semua orang, bersama-sama kita dapat menemukan solusi nyata untuk dunia yang lebih sehat dan berkelanjutan). (FR)

Author:

Farissa Romadhiyati
Dokter hewan
BBPKH Cinagara – Kementerian Pertanian RI (2018-2024).

Sumber:

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2020). One Health. Retrieved from https://www.cdc.gov/onehealth/index.html

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. (2020). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Direktorat Kesehatan Hewan. (2020). Rencana Aksi Nasional Pengendalian Zoonosis Indonesia 2020-2024. Jakarta: Kementerian Pertanian.

FAO, UNEP, WHO, and WOAH. 2022. One Health Joint Plan of Action (2022–2026). Working together for the health of humans, animals, plants and the environment. Rome. https://doi.org/10.4060/cc2289en

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara.

National One Health Committee (NOHC) Indonesia. (2021). Indonesia’s Commitment to One Health: Progress and Challenges. Jakarta: NOHC.

World Health Organization (WHO). (2017). One Health. Retrieved from https://www.who.int/news-room/q-a-detail/one-health.

World Organisation for Animal Health (WOAH). (2020). One Health. Retrieved from https://www.oie.int/en/for-the-media/onehealth/.


Versi PDF :

Penyembuhan Luka Pasca Kastrasi Pada Kucing Jantan Dengan Menggunakan Sediaan Propolis Cair

Abstrak

Propolis sejak jaman dahulu sudah digunakan untuk menyembuhkan luka karena mengandung arginin dan asam ferulat dimana kedua senyawa ini memacu pembentukan kolagen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat keefektifan penyembuhan luka sayatan kastrasi pada kucing dengan menggunakan sediaan propolis cair yang banyak beredar di pasaran. 16 ekor kucing jantan dikastrasi dengan metode terbuka. Setelah itu kucing dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 sebanyak 12 ekor diberi pengobatan propolis cair 1 tetes sebanyak 2 kali pemberian yaitu sesaat setelah kastrasi dan hari ke-2 (H.2) setelah kastrasi. Kelompok 2 sebanyak 4 ekor kucing hanya diberi 1 kali propolis cair dengan jumlah yang sama sesaat setelah kastrasi. Proses persembuhan luka sayat kastrasi diamati selama 5 hari. Data dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan gambaran proses persembuhan luka sayatan operasi serta waktu proses kesembuhan. Dari kedua kelompok perlakuan ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sampel menunjukkan penyembuhan luka sempurna pada hari ketiga (H.3) pasca kastrasi. Pemberian propolis cair yang dilakukan 1 kali sesaat setelah kastrasi ternyata mampu menunjukkan waktu persembuhan luka sayatan kastrasi yang sama dengan pemberian propolis cair yang dilakukan sebanyak 2 kali.

Kata kunci: Kucing, Kastrasi, Orchiectomy, Propolis, Cinagara.

Skip to content