Skip to content Skip to left sidebar Skip to footer




FAKTOR RESIKO RETENSI PLASENTA DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPRODUKSI SAPI PERAH

FAKTOR RESIKO RETENSI PLASENTA DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPRODUKSI SAPI PERAH

Oleh Dr.drh Euis Nia Setiawati, MP

        Produktivitas sapi perah sangat ditentukan oleh faktor genetik dan manajemen yang meliputi pengelolaan kesehatan, pakan, perkandangan, dan reproduksi individu. Pada mamalia, keberhasilan reproduksi mendukung peningkatan populasi dan produksi susu, karena produksi susu meningkat setelah partus. Penurunan keberhasilan (efisiensi) reproduksi yang pada akhirnya  ditandai pemanjangan  dengan bertambah  lamanya  interval  beranak  akan menurunkan total produksi susu. Gangguan reproduksi yang sering ditemukan dan mempengaruhi memengaruhi fertilitas dan produksi susu antara lain adalah retensi plasenta. Retensio sekundinarum merupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan plasenta induk (kripta karunkula) lebih dari 12 jam setelah melahirkan. Dalam keadaan normal kotiledon fetus biasanya keluar 3 sampai 8 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta yang dibiarkan lama tanpa penanganan yang baik akan menimbulkan infeksi sekunder sehingga dapat menyebabkan terjadinya endometritis sampai tingkat pyometra yang parah. Hal ini disebabkan karena defisiensi hormon seperti oksitosin dan estrogen sehingga kontraksi uterus berkurang atau karena proses partus yang terlalu cepat.

          Kejadian retensi plasenta dapat mencapai 98% yang diakibatkan kurangnya Avitaminosa–A, karena kemungkinan besar vitamin A perlu untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel uterus dan plasenta. Periode postpartus dengan defisiensi vitamin A, D, dan E serta defisiensi mineral selenium, iodin, zink, dan kalsium dapat menyebabkan retensio sekundinae. Kondisi   infeksi pada uterus akan menyebabkan uterus lemah untuk berkontraksi, pakan (kekurangan karotin,vitamin A) dan kurangnya exercise (sapi dikandangkan) sehingga otot uterus tidak kuat untuk bekontraksi.

          Beberapa parameter efisiensi reproduksi adalah conception rate (CR) dan service per conception (S/C). Conception rate merupakan angka kebuntingan hasil inseminasi buatan (IB) pertama, sedangkan S/C merupakan jumlah layanan IB yang dibutuhkan untuk setiap kebuntingan. Kasus retensi plasenta dipengaruhi oleh sanitasi kandang, kualitas pakan, pengalaman peternak, dan proses partus (Islam et al., 2013). Sanitasi kandang yang buruk berpotensi meningkatkan insidensi retensi plasenta, karena kandang yang basah dan kotor mempermudah masuknya mikroba mikrob lingkungan ke dalam saluran. Kualitas pakan buruk dan jumlah terbatas dapat mengakibatkan hewan kekurangan nutrisi dan penurunan daya tahan. Faktor-faktor lain yang dapat menentukan kasus bobot induk (gemuk), paritas induk (4 atau lebih), bobot (besar) dan jenis kelamin (jantan) anak, kelahiran kembar, dan kualitas pakan jelek. Buruknya penanganan partus dan kebersihan kandang mempermudah bakteri lingkungan memasuki uterus dan menyebabkan endometritis . Begitu juga defisiensi vitamin A, D dan E, serta selenium, iodin, seng, dan kalsium pascapartus berkontribusi 16,55% terhadap retensi plasenta dan dapat berlanjut menjadi endometritis (Alsic et al., 2008). Retensi plasenta merupakan faktor utama penyebab endometritis; 58,7% sapi yang mengalami retensi plasenta berlanjut menjadi metritis, endometritis, atau piyometra (Han dan Kim ,2005). Han dan Kim (2005) dan Gafaar et al. (20010) yang menyatakan bahwa retensi plasenta dapat menurunkan CR dan memperbesar S/C, sehingga menurunkan efisiensi reproduksi. Leblacn (2008) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kasus retensio sekundinarum pada sapi perah, salah satunya adalah peningkatan umur sapi perah. Semakin tua umur sapi perah maka resiko mengalami retensio sekundinarum semakin tinggi (Leblacn ,2008). Kejadian retensio sekundinarum lebih tinggi pada sapi perah yang berumur lebih dari tujuh tahun( Islam et al.,2012).

         Retensi plasenta dapat dipengaruhi oleh distokia, lahir kembar, aborsi, usia, paritas, infeksi, kekurangan gizi, gangguan hormonal (Islam et al., 2012); (Zubair and Ahmad, 2014). Kejadian retensio sekundinarum meningkat pada sapi perah yang berumur tua dengan periode kelahiran lebih dari empat ( Gaafar et al,. 2010). Kejadian retensio sekundinarum lebih tinggi pada sapi perah yang berumur lebih dari tujuh tahun. Induk sapi yang sudah tua kondisi alat reproduksinya sudah mengalami penurunan yang diakibatkan oleh penurunan fungsi endokrin (Hariadi et al., 2011).

           Sapi perah yang mengalami   retensio plasenta memiliki dampak negatif terhadap kinerja reproduksi ternak yaitu keterlambatan dalam perkawinan pertama, penurunan kebuntingan , peningkatan angka perkawinan per kebuntingan , calving interval yang lebih panjang dan jarak birahi postpartum diperpanjang. Retensio  plasenta dapat menimbulkan sejumlah masalah dengan memungkinkan mikroorganisme tumbuh dan menimbulkan peradangan, penurunan berat badan dan penurunan produksi susu. Saat penanganan kelahiran apabila karankula terputus maka terjadi perlukaan dan dengan adanya infeksi mikroorganisme maka dapat mengakibatkan terjadinya endometritis. Kasus retensi plasenta yang berat akan selalu diikuti dengan terjadinya peradangan seperti metritis, peradangan pada lapisan miometrium, dan peritonitis.

            Pengobatan yang digunakan untuk kasus Retensio plasenta pada sapi perah yaitu dengan cara pengeluaran plasenta secara manual dan pemberian antibiotik intrauterin sistemik. Penanganan dengan manual removal yaitu melakukan penarikan terhadap plasenta yang masih menggantung di bibir vulva, dimana teknik penanganan ini dilakukan secara hati-hati agar tidak menyebabkan perlukaan pada saluran reproduksi.

         Demikian tulisan ni disampaikan, semoga dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai kasus retensio sekundinarum pada sapi perah, sehingga dapat digunakan dalam tindakan pencegahan terjadinya retensi plasenta yang berdampak terhadap birahi dan kebuntingan pada sapi perah.

Skip to content